Aku hanya bisa terdiam, ketika
orang-orang di sekitarku sudah mulai berbicara dengan bahasa madura. Bahasa
kedua yang benar-benar tak aku mengerti setelah bahasa sunda. Oke, aku tahu
jelas dimana aku berada sekarang. Di rumah tanteku yang jaraknya 25000 meter
dari Kota Probolinggo, Jawa Timur dan aku paham orang-orang di sini bahkan di
sekitarku sekarang sangat memahami bahasa ini.
“Alek....lekk1,” seseorang memanggilku dengan kosa kata
yang tak aku mengerti sambil menepuk bahuku, “engkok menta aeng2, ngebey ngenom3.
Dulien!4 ”
Sial, ternyata itu suara sepupuku, Agin. Seorang anak laki-laki yang umurnya
hanya beda setahun denganku, ia tahu bahwa aku benar-benar tak mengerti bahasa madura.
Sehingga setiap kita bertemu, ia selalu berbicara memakai bahasa kebanggaan-nya
itu. Biasanya aku selalu marah-marah ketika ia mengajakku berbicara dengan
bahasa ini, tapi kali ini aku hanya diam. Aku nggak mau bercapek-capek ria
untuk saat ini, karena besok ada pagelaran besar di alun-alun kabupaten yang mengharuskanku
menari. Tarian yang aku bawakan cukup mudah yaitu tarian rondhing, tarian ini mengambarkan
sebuah pasukan yang sedang baris-berbaris dan konon tarian ini diangkat dari
perjuangan rakyat pamekasan, jadi aku didampingi oleh empat teman baruku di
sini.
“Lek....Dulien.” Katanya sedikit
berteriak.
“Kamu
ngomong denganku, mas?” tanyaku dengan nada jutek.
“Iyalah,
Rin,” jawabnya sambil menarik nafas, “memangnya kau tak dengar?”
“Tidak,
soalnya kukira alien yang berbicara. Hahahaha.” Jawabku sambil pergi menuju kamar.
“Hei,
dasar bocah edan5”
“Sampeyan luwih edan, ngomong kok nganggo
boso alien6.” Kataku sambil menutup pintu kamar.
Agin hanya diam dan mungkin saat ini ia sedang berpikir keras untuk benar-benar
mengubah pandanganku tentang bahasa madura.
***
Pagi hari dengan hawa yang lumayan
panas, aku sudah terbangun dari tidur yang mungkin tidak sepanjang putri tidur.
Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke aula, karena acara akan dimulai pukul 08.00
WIB. Sehabis mandi, aku memilih untuk memoles wajahku sendiri, karena aku nggak
suka wajahku dipoles oleh orang lain. Hasilnya jelas berbeda, wajahku lebih cantik
bila dipoles oleh tanganku sendiri dan jika dipoles oleh orang lain aku lebih
terlihat seperti badut Ancol.
Tak
terasa jam di dinding kamarku sudah menunjukkan angka 6, saatnya aku pergi ke
aula. Aku meminta tolong kepada Agin untuk mengantarku dengan kecepatan angin.
Biasanya ia selalu marah-marah atau meminta imbalan setiap aku meminta diantar,
tapi untuk sekarang ia langsung menganggukan kepalanya tanpa bicara satu kata
pun. Aneh namun ini nyata, sekarang sepupuku yang selalu menjadi teman adu mulutku
tiba-tiba saja diam seribu bahasa. Apa mungkin karena kemarin aku salah bicara?
Atau mungkin, karena aku bilang bahwa bahasa madura adalah bahasa alien? Ahhhh,
tiba-tiba saja kepalaku sakit. Sudahlah yang penting Agin mau mengantarkanku.
Tak kurang dari 30 menit,
akhirnya aku sampai di aula. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Agin
yang sudah berbaik hati mengantarku, namun tiba-tiba Agin menarik tanganku dan
berkata, “Rin, jangan malu-maluin ya nanti. Jangan pasang wajah cemberut kalau mendengar
orang ngomong pake bahasa yang menurutmu alien itu. Ingat! Sekarang kamu akan menari
tarian asal budaya yang dekat denganku.”
“Ya, aku nggak akan malu-maluin dan pasang wajah cemberut.” Jawabku sambil
tersenyum.
“Oke, nanti aku akan melihatmu.” Katanya dengan senyum penuh kelegaan.
Sekarang aku benar-benar mengerti.
Akulah yang keterlaluan! Tapi menurut pandanganku, bahasa madura adalah bahasa
tersulit yang pernah ada. Bila disuruh memilih, aku akan memilih bahasa sunda
yang lumayan bisa kuserap dibandingkan bahasa Madura. Madura sangat baru menurut
duniaku. Ayahku tidak pernah berbicara menggunakan bahasa Madura didepanku. Tetapi
anehnya, bila kita sekeluarga berkumpul di rumah tante, logat ayah langsung
berubah dan aku baru menyadarinya akhir-akhir ini.
Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa
aku bisa turut serta dalam pagelaran ini. Aku pun juga heran, semua tawaran ini
datang secara tiba-tiba. Seminggu yang lalu saat aku sedang di teras rumah
tante, datang seorang laki-laki paru baya yang ku perkirakan umurnya 43 tahunan
dan menawariku untuk menari Tarian Rondhing. Karena beliau tahu, aku sudah
pernah mengikuti kejuaraan internasional di Belanda sebanyak lima kali tahun
lalu. Suatu kehormatan untuk orang luar sepertiku mendapatkan tawaran langka
ini, dan tanpa pikir panjang aku langsung menerima tawaran tersebut dengan
senang hati, tunggu dulu, sepertinya aku akan segera mempunyai keinginan untuk mempelajari
budaya ini. Tapi kapan? Kurasa waktunya sampai putri tidur terbangun dari mimpi
indahnya.
Lamunanku buyar ketika ada seseorang dari arah
belakang menepuk bahuku yang dalam sekejap membawaku kembali ke dunia nyata.
“Mbak, kok ngelamun aja?” tanya mbak Sinar salah satu teman tariku.
“Ndak apa-apa, mbak. Mungkin aku hanya kangen dengan rumah yang di Bandung.”
Dustaku kepada mbak Sinar.
“Ya sudah, ayo cepat ganti kostum. Setelah itu, aku akan minta tolong mbokuntuk
menambahkan bedakmu. Soalnya bedakmu terlalu tipis.”
“Oke.”
Tak
sampai 10 menit, kostum menariku sudah terpasang rapi di badan mungilku. Kulihat
dengan seksama di depan cermin besar yang sengaja dipasang. Ternyata kostum ini
tidak terlalu buruk seperti apa yang aku bayangkan. Kebaya yang ku kenakan
berwarna merah terang dan selendang warna kuning yang cantik menghiasi
pinggangku, di tambah dengan kain batik khas corak Madura yang menutupi kakiku.
Tanpa kusadari, saat ini aku sedang mengangumi kebudayaan ini.
“Wahhhh.....Raddin7 sekali
mbak ini.” kata seorang wanita paru baya di sekitar aula sambil tersenyum. Tapi
tunggu dulu, namaku kan Rinfa, mengapa jadi dipanggil Raddin? Sudahlah, lebih
baik aku duduk manis.
“E-dimmah bedek’en8?” tanya wanita paru baya itu kepada para
asistennya.
“Ini mbok.” Jawab salah satu asistennya sambil memberikan bede.
“Kaso’on,bing9,” katanya
dengan tersenyum, “ sekarang mbak a bedek’en
sakonek10. biar lebih cantik.”
Oke, kali ini aku hanya menganggukan kepala saja dan pasang wajah tidak cemberut
sebisa mungkin. Kalau aku tidak ingat kata Agin, kurasa aku akan cemberut
seharian ini.
Dua jam sudah berlalu. Sudah
saatnya aku bersama empat teman baruku itu untuk tampil. Jantung ku terus menerus
berdendang, karena aku menari untuk penyambutan Bupati baru kabupaten ini. Tapi
aku yakin, aku pasti bisa! Di negeri orang saja aku sudah bisa mementaskan
beberapa tarian dengan baik dan seharusnya di negeri sendiri bisa jauh lebih
baik.
Musik pun terdengar, tanda
saatnya aku mulai menari. Aku melenggak-lenggokan badanku dengan sangat luwes mengikuti
alunan musik dan nyanyian yang tak kumengerti tentunya. Dengan senyuman dan
penuh rasa bangga yang mengebu-ngebu di dalam dada, aku terus menari hingga musik
berhenti.
Agin pun menemuiku di aula, dia
pun menatapku dalam-dalam lalu tersenyum.
“Apa?” kataku dengan nada risih karena ditatap seperti itu.
“Nggak apa-apa,” katanya salah tingkah. Ini jelas bukan sifat sepupuku yang
terkenal sebagai tukang adu mulut kelas kakap, “ada yang bilang kamu raddin terus daritadi.”
Aku hanya bisa diam sambil memegang kepalaku yang tak sama sekali sakit. Sekali
lagi kutegaskan! Namaku Rinfa bukan Raddin, mengapa hari ini orang-orang banyak
yang memanggilku Raddin? Bila aku bertemu orang yang diceritakan oleh Agin,
akan kubuat menjadi perkedel.
“Ayo pulang, ibu sudah memasak
rawon.” Kata Agin sambil tersenyum.
“Beneran?
Kamu nggak bohong kan, mas?” tanyaku dengan sungguh-sungguh.
“Untuk
Hari ini karena kamu sudah mengikuti apa yang ku katakan,” Kata Agin sambil
tersenyum jail, “aku tak akan membohongimu.”
“Oke,
tapi ini belum mengubah apa-apa. Aku tetap menganggap bahasa madura adalah
bahasa alien.”
“Itu
sih terserah kamu.” Katanya sambil mengangkat bahu, “ayo kita ke tempat parkir
sekarang.”
Aku pun mengikuti langkah Agin menuju
tempat parkir, samar-samar seperti ada orang yang memanggilku, tetapi bukan namaku
yang orang itu ucapkan. Akhirnya aku memilih untuk diam sejenak, yang kudengar
kini bukan suara lagi melainkan hentakan sepatu orang berlari dan sekarang aku mulai
takut.
“Mas, tungguin.” Kataku kepada Agin yang sudah hampir hilang dari pandangan mataku.
Aku pun berlari menuju Agin dengan kecepatan yang ku bisa, tetapi aku kalah
cepat dengan tangan yang mencengkram lenganku.
“Tunggu, Raddin.” Kata orang yang mencengkram lenganku.
“Hei, denger baik-baik,” kataku sambil menghela nafas dalam-dalam, “namaku
Rinfa bukan raddin!”
“Oh namamu Rinfa,” katanya sambil membalikkan badan dan tersenyum, “sampai jumpa
lagi, Rin.”
Aku benar-benar bingung dengan
apa yang baru saja orang itu bilang. Namanya pun aku tak tahu, tapi sepertinya
orang itu satu daerah dengan Agin dan mungkin juga mengenalnya sebagai teman
karib. Ahhhhhhh, gara-gara orang itu aku jadi kehilangan jejak Agin, kira-kira motornya
ada dimana?
***
Suasana rumah tanteku masih seperti biasa. Tentram namun ramai
karena semua anggota keluarga dari ayahku berkumpul di situ, jadi tak heran rumah
tanteku selalu ramai. Bahkan aku pernah mendengar ada seorang anak laki-laki yang
sudah dianggap anak oleh tante dan omku, aku tidak tahu alasan yang pasti mereka
menganggap anak itu sebagai anaknya. Sampai sekarang aku belum bertemu anak
yang bernama Zaki itu, wujudnya pun aku tak bisa bayangkan walaupun sudah
diberi petunjuk oleh Agin. Agin dan Zaki mungkin sudah bersahabat sangat lama,
buktinya ia lancar bercerita.
“Assalamualaikum.” kata seseorang di depan
pintu.
“Walaikumsalam.”
Jawab aku, Agin, tante, dan omku serempak.
Tiba-tiba Agin menarik tanganku dan mulai membisikan sesuatu, “itu yang namanya
Zaki, Rin.”
“Itu
Zaki?” tanyaku sambil menyipitkan mata, “sepertinya aku pernah ketemu orang ini
deh.”
“Jangan
bohong kamu!”
“Hei,
aku tidak bohong, mas Agin Pramono!” seruku dengan tatapan penuh amarah.
“Hei,
Raddin,” katanya sambil melambaikan tangan, “Aku Zaki, salam kenal.”
“Sudah
kubilang namaku Rinfa!” seruku dengan amarah yang sudah tak terbendung lagi
sehingga aku pun menangis sambil berteriak, “Kamu kenapa seenaknya menganti namaku?”
Agin melongo, om dan tanteku pun diam
seribu bahasa, sedangkan Zaki terlihat begitu kaget melihatku menangis. Agin
yang tadinya melongo, tiba-tiba saja tertawa sangat kencang dan memecahkan
kesunyian yang ada.
“Kenapa kau menertawakanku?” tanyaku sambil mengusap air mata.
“Lucu aja, baru kali ini ada cewek menangis histeris hanya karena dibilang
cantik oleh seorang cowok.” Katanya dengan tawa yang sudah cukup membuat
telingaku bengkak.
“Aku tak mengerti.”
“Begini, Rin. Radin itu artinya cantik. Aku tidak tahu namamu saat itu dan saat
di panggung kamu memang terlihat cantik.” Jelasnya dengan wajah yang sedikit merona.
Ternyata semua ini salah paham. Setelah
Zaki selesai menjelaskan, kami pun tertawa bersama. Di meja makan pun mereka tetap
saja melihatku dengan tatapan seperti itu. Ku beranikan diri untuk menghampiri
Agin yang sekarang sudah duduk di kursi kebanggaan-nya di teras depan rumah dan
aku pun memasang wajah semanis mungkin kepadanya.
“Ada apa, Lek?” tanyanya sambil
tersenyum.
“Nggak, aku hanya ingin bertanya,” kataku sambil menghela nafas, “apakah yang
bilang aku raddin terus itu Zaki?”
“Ya, dan itu alasanku juga menatapmu lekat-lekat di aula tadi.” Katanya
lagi-lagi sambil tersenyum.
Alasan yang cukup masuk akal menurutku.
“Mas”
“Ya,
Rin.”
“Ajari
aku bahasa Madura.”
Agin melongo tanda tak percaya, “kamu yakin? Bukannya kau bilang bahasa Madura
itu adalah bahasa alien.”
“Ya,
aku yakin,” kataku sambil tersenyum, “aku nggak mau membenci bahasa ini karena
aku nggak bisa dan aku juga nggak mau dibuat malu lagi di depan orang banyak
seperti tadi.”
“Serius?” tanyanya sekali lagi.
“Ya,
aku serius. Kapan sih aku nggak berani serius dengan perkataanku?”
“Baiklah,
aku akan mengajarimu,” katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “tapi kamu harus yakin, bahasa Madura itu
tidak sesulit bahasa Inggris maupun Korea yang saat ini kamu kuasai.”
“Oke,
mas,” kataku sambil memeluk manja sepupuku itu, “terima kasih banyak.”
“Sip.
Tapi aturan pertama, lepaskan pelukanmu yang kelewat manja itu!” perintahnya
setengah berteriak.
“Oke,
mas.”
“Nah,
itu baru adik sepupuku.” Katanya sambil mengelus rambutku.
Aku tersenyum lega dan berharap ini awalku untuk bisa memperkenalkan budaya ini
ke Belanda sana, seperti budaya lain yang sudah kuperkenalkan lebih dulu.
catatan: 1. adik...dik (bahasa madura)
2. aku minta air (bahasa madura)
3. untuk minum (bahasa madura)
4. cepat! (bahasa madura)
5. bocah gila (bahasa jawa)
6. kamu lebih gila, ngomong kok pake bahasa alien (bahasa jawa)
7. cantik (bahasa madura)
8. dimana bedaknya? (bahasa madura)
9. terima kasih (bahasa madura)
10. pake bedak sedikit (bahasa madura)