Rabu, 13 November 2013

gray paper- yesung (english)

I’m saying this because I’m sorry
I’m saying this because you’re crying
I’m saying this because I’m running out of breath
Words that my foolish heart is rushing out

I try to hold it in and block it
I cover my mouth with my hands but
The words “I love you” remain as if it’s written in my heart

I’ll walk slowly, one step, two step
Your footsteps are so familiar to me, one step, two step
You’re getting farther away and disappearing little by little with heavy footsteps

In case you get erased and forgotten
In case you grow out of sight and disappear
In one second, I repeat these words thousands of times: don’t go far away

I’ll walk slowly, one step, two step
Your footsteps are so familiar to me, one step, two step
You’re getting farther away and disappearing little by little with heavy footsteps

This is the last time, once, twice
I make promises that I can’t keep, once, twice
The one who should be hurt is me, please, please

This is the last time, once, twice
I make promises that I can’t keep, once, twice
You’re getting farther away and disappearing little by little with heavy footsteps
The one who should be hurt is me, please, please


gray paper - yesung (indo)

Aku mengatakan ini karena aku (meminta) maaf
Aku mengatakan ini karena kau menangis
Aku mengatakan ini karena aku kehabisan nafas
Kata-kata yang membodohi hatiku keluar
Aku mencoba menahannya dan menghadang itu
Aku menutupi mulutku dengan tanganku tapi
Kata “Aku mencintaimu” tersisa sebagai tulisan di hatiku
* Aku akan berjalan perlahan, satu langkah, dua langkah
Jejak kakimu sangat ku kenal, satu langkah, dua langkah
Kamu menjadi semakin menjauh pergi dan menghilang sedikit demi sedikit dengan langkah kaki yang berat
Seandainya kamu terhapus & terlupakan
Seandainya kamu tampak tumbuh dan menghilang
Dalam satu detik, aku mengulang kata ini beribu kali: jangan pergi jauh (dariku)
Ini terakhir kalinya, sekali, duakali
Aku membuat janji untuk tetap, sekali, duakali
Seseorang yang menjadi terluka adalah aku, kumohon, kumohon
Ini terakhir kalinya, sekali, duakali
Aku membuat janji untuk tetap, sekali, duakali
Kamu menjadi semakin menjauh pergi dan menghilang sedikit demi sedikit dengan langkah kaki yang berat
Seseorang yang menjadi terluka adalah aku, kumohon, kumohon

Sabtu, 02 November 2013

taeyeon-only one (english)




do you remember me ? ,
easy to hurt people ,
easily moved to tears ,
easily hurt ..

today was like that ,
so also will the same
when they saw me like this ,
What do you Think ?

even if you turn around easily ,
even if you simply stay away from me
do you know ? not easy for me to forget you ..
so like this , I still like this
Do not I look stupid to you ?

only one that I want and have always wanted
even if I get hurt and hurt again , once
though I slammed and slammed again ,
although these tears do not dry out
Can we go back as early as the first ?

when we encounter it , it's time
I sometimes regret when it is
but feeling miss this
if I forbid it ,
I was not able to breathe

only one that I want and have always wanted
even if I get hurt and hurt again , once
though I slammed and slammed again ,
although these tears do not dry out
Can we go back as early as the first ?

could it be , could it just once
in all my life is , once
although there are days when your heart feels sick because of me
is it possible in this life , just once?

only this one , keep this in mind
even if this word just for you alone ( not ours ) ,
" live well "

could it be , could it just once
in all my life is , once
although there are days when your heart feels sick because of me
is it possible in this life , just once?

Taeyeon-only one (Indonesia)










ingatkah kau padaku? 
orang yang mudah untuk dilukai, 
mudah meneteskan air mata, 
mudah tersakiti..

saat ini pun seperti itu, 
seterusnya pun juga akan sama
saat melihatku yang seperti ini, 
apa yang kau fikirkan?

meskipun dengan mudahnya kau berpaling, 
meskipun dengan mudahnya kau menjauh dariku
tahukah kau?, tidak mudah bagiku untuk melupakanmu..
seterusnya seperti ini, aku masih seperti ini
bukankah aku terlihat bodoh bagimu?

hanya satu yang ku inginkan dan selalu kuinginkan
bahkan jika aku tersakiti dan tersakiti lagi, sekali saja
walau aku terhempas dan terhempas lagi, 
walaupun air mata ini tak mengering
dapatkah kita kembali seperti awal saat pertama?

perjumpaan kita saat itu, waktu itu
terkadang aku menyesali saat itu
namun perasaan merindukanmu ini
jika aku melarangnya, 
aku merasa tidak dapat bernafas

hanya satu yang ku inginkan dan selalu kuinginkan
bahkan jika aku tersakiti dan tersakiti lagi, sekali saja
walau aku terhempas dan terhempas lagi, 
walaupun air mata ini tak mengering
dapatkah kita kembali seperti awal saat pertama?

mungkinkah, mungkinkah sekali saja
di sepanjang hidupku ini, sekali saja
walaupun ada hari dimana hatimu merasa sakit karenaku
mungkinkah di dalam hidupmu ini, sekali saja?

hanya satu ini , ingatlah ini
bahkan jika kata ini hanya untukmu sendiri (bukan kita), 
"hiduplah dengan baik"

mungkinkah, mungkinkah sekali saja
di sepanjang hidupku ini, sekali saja
walaupun ada hari dimana hatimu merasa sakit karenaku
mungkinkah di dalam hidupmu ini, sekali saja?

Jumat, 01 November 2013

hanya cerita-cerita saja

Hai kawan.....
ahhh senang banget ya lomba dapet juara tuh, apalagi kelasku ngeborong 4 . hihihi

1. debat (dari tahun kemarin udah paling the best) :bd
2. storry telling (keren loh yang membawakan ceritanya)
3. musikalisasi puisi (juara 2 sih tapi nggak apa-apa, yang penting kita dapet)
4. Cerpen (ini aku yang nulis)

ada kelemahan di cerpenku yaitu judul.


judulnya kata juri kurang menarik dan kalau di pikir-pikir emang bener sih.
kalau ada saran komen ya.



shireena

Raddin

        Aku hanya bisa terdiam, ketika orang-orang di sekitarku sudah mulai berbicara dengan bahasa madura. Bahasa kedua yang benar-benar tak aku mengerti setelah bahasa sunda. Oke, aku tahu jelas dimana aku berada sekarang. Di rumah tanteku yang jaraknya 25000 meter dari Kota Probolinggo, Jawa Timur dan aku paham orang-orang di sini bahkan di sekitarku sekarang sangat memahami bahasa ini.
     Alek....lekk1,” seseorang memanggilku dengan kosa kata yang tak aku mengerti sambil menepuk bahuku, “engkok menta  aeng2, ngebey ngenom3. Dulien!4
Sial, ternyata itu suara sepupuku, Agin. Seorang anak laki-laki yang umurnya hanya beda setahun denganku, ia tahu bahwa aku benar-benar tak mengerti bahasa madura. Sehingga setiap kita bertemu, ia selalu berbicara memakai bahasa kebanggaan-nya itu. Biasanya aku selalu marah-marah ketika ia mengajakku berbicara dengan bahasa ini, tapi kali ini aku hanya diam. Aku nggak mau bercapek-capek ria untuk saat ini, karena besok ada pagelaran besar di alun-alun kabupaten yang mengharuskanku menari. Tarian yang aku bawakan cukup mudah yaitu tarian rondhing, tarian ini mengambarkan sebuah pasukan yang sedang baris-berbaris dan konon tarian ini diangkat dari perjuangan rakyat pamekasan, jadi aku didampingi oleh empat teman baruku di sini.
            “Lek....Dulien.” Katanya sedikit berteriak.
            “Kamu ngomong denganku, mas?” tanyaku dengan nada jutek.
            “Iyalah, Rin,” jawabnya sambil menarik nafas, “memangnya kau tak dengar?”
            “Tidak, soalnya kukira alien yang berbicara. Hahahaha.” Jawabku sambil pergi menuju kamar.
            “Hei, dasar bocah edan5
            “Sampeyan luwih edan, ngomong kok nganggo boso alien6.” Kataku sambil menutup pintu kamar.
Agin hanya diam dan mungkin saat ini ia sedang berpikir keras untuk benar-benar mengubah pandanganku tentang bahasa madura.

                                                                  ***
Pagi hari dengan hawa yang lumayan panas, aku sudah terbangun dari tidur yang mungkin tidak sepanjang putri tidur. Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke aula, karena acara akan dimulai pukul 08.00 WIB. Sehabis mandi, aku memilih untuk memoles wajahku sendiri, karena aku nggak suka wajahku dipoles oleh orang lain. Hasilnya jelas berbeda, wajahku lebih cantik bila dipoles oleh tanganku sendiri dan jika dipoles oleh orang lain aku lebih terlihat seperti badut Ancol.
            Tak terasa jam di dinding kamarku sudah menunjukkan angka 6, saatnya aku pergi ke aula. Aku meminta tolong kepada Agin untuk mengantarku dengan kecepatan angin. Biasanya ia selalu marah-marah atau meminta imbalan setiap aku meminta diantar, tapi untuk sekarang ia langsung menganggukan kepalanya tanpa bicara satu kata pun. Aneh namun ini nyata, sekarang sepupuku yang selalu menjadi teman adu mulutku tiba-tiba saja diam seribu bahasa. Apa mungkin karena kemarin aku salah bicara? Atau mungkin, karena aku bilang bahwa bahasa madura adalah bahasa alien? Ahhhh, tiba-tiba saja kepalaku sakit. Sudahlah yang penting Agin mau mengantarkanku.
Tak kurang dari 30 menit, akhirnya aku sampai di aula. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Agin yang sudah berbaik hati mengantarku, namun tiba-tiba Agin menarik tanganku dan berkata, “Rin, jangan malu-maluin ya nanti. Jangan pasang wajah cemberut kalau mendengar orang ngomong pake bahasa yang menurutmu alien itu. Ingat! Sekarang kamu akan menari tarian asal budaya yang dekat denganku.”
“Ya, aku nggak akan malu-maluin dan pasang wajah cemberut.” Jawabku sambil tersenyum.
“Oke, nanti aku akan melihatmu.” Katanya dengan senyum penuh kelegaan.
Sekarang aku benar-benar mengerti. Akulah yang keterlaluan! Tapi menurut pandanganku, bahasa madura adalah bahasa tersulit yang pernah ada. Bila disuruh memilih, aku akan memilih bahasa sunda yang lumayan bisa kuserap dibandingkan bahasa Madura. Madura sangat baru menurut duniaku. Ayahku tidak pernah berbicara menggunakan bahasa Madura didepanku. Tetapi anehnya, bila kita sekeluarga berkumpul di rumah tante, logat ayah langsung berubah dan aku baru menyadarinya akhir-akhir ini.
Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa aku bisa turut serta dalam pagelaran ini. Aku pun juga heran, semua tawaran ini datang secara tiba-tiba. Seminggu yang lalu saat aku sedang di teras rumah tante, datang seorang laki-laki paru baya yang ku perkirakan umurnya 43 tahunan dan menawariku untuk menari Tarian Rondhing. Karena beliau tahu, aku sudah pernah mengikuti kejuaraan internasional di Belanda sebanyak lima kali tahun lalu. Suatu kehormatan untuk orang luar sepertiku mendapatkan tawaran langka ini, dan tanpa pikir panjang aku langsung menerima tawaran tersebut dengan senang hati, tunggu dulu, sepertinya aku akan segera mempunyai keinginan untuk mempelajari budaya ini. Tapi kapan? Kurasa waktunya sampai putri tidur terbangun dari mimpi indahnya.
 Lamunanku buyar ketika ada seseorang dari arah belakang menepuk bahuku yang dalam sekejap membawaku kembali ke dunia nyata.
“Mbak, kok ngelamun aja?” tanya mbak Sinar salah satu teman tariku.
“Ndak apa-apa, mbak. Mungkin aku hanya kangen dengan rumah yang di Bandung.” Dustaku kepada mbak Sinar.
“Ya sudah, ayo cepat ganti kostum. Setelah itu, aku akan minta tolong mbokuntuk menambahkan bedakmu. Soalnya bedakmu terlalu tipis.”
“Oke.”
            Tak sampai 10 menit, kostum menariku sudah terpasang rapi di badan mungilku. Kulihat dengan seksama di depan cermin besar yang sengaja dipasang. Ternyata kostum ini tidak terlalu buruk seperti apa yang aku bayangkan. Kebaya yang ku kenakan berwarna merah terang dan selendang warna kuning yang cantik menghiasi pinggangku, di tambah dengan kain batik khas corak Madura yang menutupi kakiku. Tanpa kusadari, saat ini aku sedang mengangumi kebudayaan ini.
“Wahhhh.....Raddin7 sekali mbak ini.” kata seorang wanita paru baya di sekitar aula sambil tersenyum. Tapi tunggu dulu, namaku kan Rinfa, mengapa jadi dipanggil Raddin? Sudahlah, lebih baik aku duduk manis.
E-dimmah bedek’en8?” tanya wanita paru baya itu kepada para asistennya.
“Ini mbok.” Jawab salah satu asistennya sambil memberikan bede.
Kaso’on,bing9,” katanya dengan tersenyum, “ sekarang mbak a bedek’en sakonek10. biar lebih cantik.”
Oke, kali ini aku hanya menganggukan kepala saja dan pasang wajah tidak cemberut sebisa mungkin. Kalau aku tidak ingat kata Agin, kurasa aku akan cemberut seharian ini.
Dua jam sudah berlalu. Sudah saatnya aku bersama empat teman baruku itu untuk tampil. Jantung ku terus menerus berdendang, karena aku menari untuk penyambutan Bupati baru kabupaten ini. Tapi aku yakin, aku pasti bisa! Di negeri orang saja aku sudah bisa mementaskan beberapa tarian dengan baik dan seharusnya di negeri sendiri bisa jauh lebih baik.
Musik pun terdengar, tanda saatnya aku mulai menari. Aku melenggak-lenggokan badanku dengan sangat luwes mengikuti alunan musik dan nyanyian yang tak kumengerti tentunya. Dengan senyuman dan penuh rasa bangga yang mengebu-ngebu di dalam dada, aku terus menari hingga musik berhenti.
Agin pun menemuiku di aula, dia pun menatapku dalam-dalam lalu tersenyum.
“Apa?” kataku dengan nada risih karena ditatap seperti itu.
“Nggak apa-apa,” katanya salah tingkah. Ini jelas bukan sifat sepupuku yang terkenal sebagai tukang adu mulut kelas kakap, “ada yang bilang kamu raddin terus daritadi.”
Aku hanya bisa diam sambil memegang kepalaku yang tak sama sekali sakit. Sekali lagi kutegaskan! Namaku Rinfa bukan Raddin, mengapa hari ini orang-orang banyak yang memanggilku Raddin? Bila aku bertemu orang yang diceritakan oleh Agin, akan kubuat menjadi perkedel.
“Ayo pulang, ibu sudah memasak rawon.” Kata Agin sambil tersenyum.
            “Beneran? Kamu nggak bohong kan, mas?” tanyaku dengan sungguh-sungguh.
            “Untuk Hari ini karena kamu sudah mengikuti apa yang ku katakan,” Kata Agin sambil tersenyum jail, “aku tak akan membohongimu.”
            “Oke, tapi ini belum mengubah apa-apa. Aku tetap menganggap bahasa madura adalah bahasa alien.”
            “Itu sih terserah kamu.” Katanya sambil mengangkat bahu, “ayo kita ke tempat parkir sekarang.”
Aku pun mengikuti langkah Agin menuju tempat parkir, samar-samar seperti ada orang yang memanggilku, tetapi bukan namaku yang orang itu ucapkan. Akhirnya aku memilih untuk diam sejenak, yang kudengar kini bukan suara lagi melainkan hentakan sepatu orang berlari dan sekarang aku mulai takut.
“Mas, tungguin.” Kataku kepada Agin yang sudah hampir hilang dari pandangan mataku. Aku pun berlari menuju Agin dengan kecepatan yang ku bisa, tetapi aku kalah cepat dengan tangan yang mencengkram lenganku.
“Tunggu, Raddin.” Kata orang yang mencengkram lenganku.
“Hei, denger baik-baik,” kataku sambil menghela nafas dalam-dalam, “namaku Rinfa bukan raddin!”
“Oh namamu Rinfa,” katanya sambil membalikkan badan dan tersenyum, “sampai jumpa lagi, Rin.”
Aku benar-benar bingung dengan apa yang baru saja orang itu bilang. Namanya pun aku tak tahu, tapi sepertinya orang itu satu daerah dengan Agin dan mungkin juga mengenalnya sebagai teman karib. Ahhhhhhh, gara-gara orang itu aku jadi kehilangan jejak Agin, kira-kira motornya ada dimana?

                                                           ***
Suasana rumah  tanteku masih seperti biasa. Tentram namun ramai karena semua anggota keluarga dari ayahku berkumpul di situ, jadi tak heran rumah tanteku selalu ramai. Bahkan aku pernah mendengar ada seorang anak laki-laki yang sudah dianggap anak oleh tante dan omku, aku tidak tahu alasan yang pasti mereka menganggap anak itu sebagai anaknya. Sampai sekarang aku belum bertemu anak yang bernama Zaki itu, wujudnya pun aku tak bisa bayangkan walaupun sudah diberi petunjuk oleh Agin. Agin dan Zaki mungkin sudah bersahabat sangat lama, buktinya ia lancar bercerita.
 “Assalamualaikum.” kata seseorang di depan pintu.
            “Walaikumsalam.” Jawab aku, Agin, tante, dan omku serempak.
Tiba-tiba Agin menarik tanganku dan mulai membisikan sesuatu, “itu yang namanya Zaki, Rin.”
            “Itu Zaki?” tanyaku sambil menyipitkan mata, “sepertinya aku pernah ketemu orang ini deh.”
            “Jangan bohong kamu!”
            “Hei, aku tidak bohong, mas Agin Pramono!” seruku dengan tatapan penuh amarah.
            “Hei, Raddin,” katanya sambil melambaikan tangan, “Aku Zaki, salam kenal.”
            “Sudah kubilang namaku Rinfa!” seruku dengan amarah yang sudah tak terbendung lagi sehingga aku pun menangis sambil berteriak, “Kamu kenapa seenaknya menganti namaku?”
Agin melongo, om dan tanteku pun diam seribu bahasa, sedangkan Zaki terlihat begitu kaget melihatku menangis. Agin yang tadinya melongo, tiba-tiba saja tertawa sangat kencang dan memecahkan kesunyian yang ada.
“Kenapa kau menertawakanku?” tanyaku sambil mengusap air mata.
“Lucu aja, baru kali ini ada cewek menangis histeris hanya karena dibilang cantik oleh seorang cowok.” Katanya dengan tawa yang sudah cukup membuat telingaku bengkak.
“Aku tak mengerti.”
“Begini, Rin. Radin itu artinya cantik. Aku tidak tahu namamu saat itu dan saat di panggung kamu memang terlihat cantik.” Jelasnya dengan wajah yang sedikit merona.
Ternyata semua ini salah paham. Setelah Zaki selesai menjelaskan, kami pun tertawa bersama. Di meja makan pun mereka tetap saja melihatku dengan tatapan seperti itu. Ku beranikan diri untuk menghampiri Agin yang sekarang sudah duduk di kursi kebanggaan-nya di teras depan rumah dan aku pun memasang wajah semanis mungkin kepadanya.
“Ada apa, Lek?” tanyanya sambil tersenyum.
“Nggak, aku hanya ingin bertanya,” kataku sambil menghela nafas, “apakah yang bilang aku raddin terus itu Zaki?”
“Ya, dan itu alasanku juga menatapmu lekat-lekat di aula tadi.” Katanya lagi-lagi sambil tersenyum.
Alasan yang cukup masuk akal menurutku.
“Mas”
            “Ya, Rin.”
            “Ajari aku bahasa Madura.”
Agin melongo tanda tak percaya, “kamu yakin? Bukannya kau bilang bahasa Madura itu adalah bahasa alien.”
            “Ya, aku yakin,” kataku sambil tersenyum, “aku nggak mau membenci bahasa ini karena aku nggak bisa dan aku juga nggak mau dibuat malu lagi di depan orang banyak seperti tadi.”
             “Serius?” tanyanya sekali lagi.
            “Ya, aku serius. Kapan sih aku nggak berani serius dengan perkataanku?”
            “Baiklah, aku akan mengajarimu,” katanya sambil menarik nafas dalam-dalam,   “tapi kamu harus yakin, bahasa Madura itu tidak sesulit bahasa Inggris maupun Korea yang saat ini kamu kuasai.”
            “Oke, mas,” kataku sambil memeluk manja sepupuku itu, “terima kasih banyak.”
            “Sip. Tapi aturan pertama, lepaskan pelukanmu yang kelewat manja itu!” perintahnya setengah berteriak.
            “Oke, mas.”
            “Nah, itu baru adik sepupuku.” Katanya sambil mengelus rambutku.
Aku tersenyum lega dan berharap ini awalku untuk bisa memperkenalkan budaya ini ke Belanda sana, seperti budaya lain yang sudah kuperkenalkan lebih dulu.



catatan: 1. adik...dik (bahasa madura)
             2. aku minta air (bahasa madura)
             3. untuk minum (bahasa madura)
             4. cepat! (bahasa madura)
             5. bocah gila (bahasa jawa)
             6. kamu lebih gila, ngomong kok pake bahasa alien (bahasa jawa)
             7. cantik (bahasa madura)
             8. dimana bedaknya? (bahasa madura)
             9. terima kasih (bahasa madura)
            10. pake bedak sedikit (bahasa madura)